Kamis, 30 Agustus 2012

Kasus KDRT


JAKARTA (Pos Kota) – Dua orang anak dan  mantan istri dari  satu jenderal polisi melaporkan suaminya Y, ke Bareskrim Mabes Polri terkait kasus penganiayaan. Brigjen Pol Y sendiri diketahui berdinas di Badan Intelejen Negara (BIN).
Kedua anak tersebut yakni, AI, BA dengan didampingi ibunya Anita Agnes lapor ke Bareskrim Polri, Kamis 24 Mei sore.
Karo Penmas Mabes Polri, Brigjen M Taufik membenarkan kemarin ada laporan dari seorang wanita bersama dua anaknya terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
“Betul, kemarin Istri bernama Anita melaporkan suaminya karena persoalan rumah tangga,” kata M Taufik, Jumat, (25/5/2012).
Ia juga mengatakan jika persoalan yang dilaporkan adalah persoalan internal keluarga mereka. Sehingga pihaknya tidak mau membeberkannya.
“Dimana dia bertugas tidak bisa disebutkan, ini kan masih proses masih perlu pemeriksaan lebih lanjut,” ungkapnya.
Sementara itu, AI salah satu anak Y mengaku sejak tahun 2004 dilakukan penganiayaan di rumahnya komplek Polri Ampera Jaksel. Sebab sejak pisah dengan ibunya tahun itu tidak boleh berhubungan dengan sang ibu.
“Tidak boleh telephone maupun berkomunikasi dengan ibu setelah cerai dengan ayah, jika ketahuan dipukul,” kata AI.
Ia juga mengatakan ayahnya sering memukul dengan gantungan kunci, besi maupun ditendang pakai sepatu.
Sementara laporan mereka sendiri resmi masuk ke Bareskrim dengan nomor laporan TBL/213/5/2012/Bareskrim. Pasal yang digunakan adalah terkait kekerasan dalam rumah tangga, pasal 44 dan 45 UU RI No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Kasus KDRT meningkat

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam tiga tahun terakhir mengalami peningkatan. Bahkan, kasus kekerasan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum juga meningkat.

Dalam data yang ada, pada 2009 kasus KDRT yang berhasil dicatat KPPPA berdasar pada data Kepolisian sebanyak 143.586 kasus. Pada 2010 berjumlah 105.103 kasus. Memasuki 2011, kasus yang ada sebanyak 119.107. Sementara pada kasus anak bermasalah dengan hukum juga menunjukkan jumlah serupa. Pada 2007, sebanyak 3.145 kasus terjadi. 

Jumlah tersebut mengalami peningkatan pada 2008 dan 2008. "2008 sebanyak 3.380 dan pada 2009 sekitar 4.213," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari Gumelar dalam acara penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Mahkamah Agung (MA) dan KPPPA, di Gedung MA, kemarin. 

Selain itu, lanjut dia, berdasarkan data dari Kementerian Hukum dan HAM 2008, yakni Ditjen Pemasyarakatan, tercatat sebanyak 5.360 narapidana adalah anak-anak. Jumlah tersebut juga mengalami peningkatan pada 2010 yang menjadi 6.308.

Pada data tersebut, ungkap Linda, kekerasan yang terjadi adalah seputar fisik, psikis, dan ekspolitasi. Menurut dia, meingkatkanya kasus yang ada masih dikarenakan persoalan ekonomi. Selain itu, ada juga persoalan sosial budaya masyarakat yang mensubordinasikan perempuan dan anak.

Tak hanya itu, sambung dia, permasalahan mengenai produk perundang-undangan yang masih banyak bias gender dan bersifat diskriminatif juga menjadi salah satu penyebab. Karena itu, pihaknya berharap agar para hakim dapat memutus setiap perkara KDRT dan anak dengan seadil-adilnya. "Makanya MoU antara MA dan KPPPA menjadi sangat penting untuk mewujudkan keadilan," kata dia.

Artikel KDRT


Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau disingkat KDRT adalah sebuah permasalahan yang sampai hari ini masih terus terjadi dalam kehidupan pernikahan manusia. Malahan, sekarang bukan hanya kaum pria yang melakukan kekerasan, kaum wanita pun sekarang banyak yang melakukannya kepada pasangan mereka. Siapapun yang menjadi pelakunya bukanlah sebuah persoalan, yang menjadi inti masalah adalah kekerasan dalam bentuk apapun harusnya dihindari oleh masing-masing pasangan yang telah menikah secara resmi.
Sebelum berbicara jauh, ada baiknya kita menyamakan pengertian mengenai apa itu KDRT. Menurut RUU Anti KDRT, KDRT adalah segala bentuk, baik kekerasan secara fisik, secara psikis, kekerasan seksual maupun ekonomi yang pada intinya menyebabkan penderitaan, baik penderitaan yang secara kemudian memberikan dampak kepada korban, seperti misalnya mengalami kerugian secara fisik atau bisa juga memberikan dampak korban menjadi sangat trauma atau mengalami penderitaan secara psikis.


KDRT bukanlah persoalan yang mudah diatasi karena sudah banyak korban yang terluka. Jikalau dia adalah seorang istri yang mengalami kekerasan, ia akan menjadi orang yang mudah terluka dengan orang lain atau susah memaafkan. Sedangkan bila yang menjadi korban di dalam rumah tangga adalah sang suami, biasanya ia akan melakukan perselingkuhan atau tidak pernah tegas dalam mengambil keputusan ketika permasalahan di dalam rumah tangga mereka terjadi. Dari sini saja kita sama-sama mengetahui bahwa KDRT merugikan semua pihak – ya suami/ayah, istri/ibu, anak, dan bahkan pembantu rumah tangga.


Lalu bagaimana solusi yang diberikan Allah agar di dalam keluarga tidak terjadi mengalami KDRT? Dan bagaimana pula jalan keluar bagi mereka yang telah mengalami KDRT? Untuk kedua pertanyaan ini, jawabannya akan penulis rangkum menjadi satu kata yakni dengan mempraktikkan kasih Allah.


Berbagai macam solusi ditawarkan dunia untuk mengatasi masalah yang satu ini, tetapi hanya kasih-Nya yang benar-benar menjadi jalan keluar. I Korintus 13:4-7 menyatakan, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”


Jika setiap suami istri menerapkan kasih Allah dijamin tindakan-tindakan negatif seperti pukulan, jambakan, tamparan, atau teriakan tidak akan pernah terjadi. Rumah tangga akan penuh damai sejahtera. Setiap pribadi yang ada di keluarga tersebut bertumbuh menjadi pribadi yang baik dan sempurna. Bahkan bukanlah yang mustahil banyak jiwa yang dimenangkan kepada Allah oleh karena satu keluarga yang hidup dalam kasih-Nya

Solusi KDRT


Kekerasan dalam rumah tangga belakangan ini, hampir kita dengar dan kita lihat setiap hari di media massa atau di sekitar kita. Dari yang berskala kecil hingga besar. Dari yang sifatnya perkataan hingga perbuatan. Dan, selalu, ketika kekerasan itu muncul, harmoni keluarga terkoyak, prahara pun tak terelak.
Islam sangat peduli terhadap bentuk kekerasan ini. Karena sejatinya, Islam mengusung misi damai dan anti kekerasan. Rumah tangga Rasulullah sendiri adalah cermin keluarga yang damai dan tanpa kekerasan. Semua individu di dalamnya merasa tenang dan bahagia. Riak masalah memang kadang muncul, namun, itu bisa diselesaikan tanpa menggunakan kekerasan.
Buku ini menampilkan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga oleh siapa pun yang hidup di dalamnya. Tidak hanya oleh suami terhadap istri, orang tua terhadap anak, tetapi juga sebaliknya.

Mencegah KDRT

dengan mencegah pernikahan dini adalah tindakan yang gegabah. Sebab, secara fitrah manusia dimungkinkan menikah pada usia dini. Apa jadinya jika remaja yang sudah siap menikah dihalang-halangi untuk menikah hanya karena khawatir terjadi KDRT? Tentu bahayanya akan jauh lebih besar. Pergaulan bebas akan semakin merajalela. Oleh karena itu, tindakan KDRT seharusnya tidak dicegah dengan mengharamkan pernikahan dini.

Menilik beberapa faktor pemicu KDRT sebagaimana yang dipaparkan di atas, maka tindakan KDRT dapat dicegah dengan; pertama, mempersiapkan diri dengan baik ketika berniat untuk menikah. Persiapan yang dimaksud bukan saja persiapan materi atau jasmani, namun meliputi persiapan mental, baik menyangkut penguatan akidah, pemahaman hukum-hukum Islam khususnya tentang kehidupan suami isteri, memperkuat kepribadian Islami dan sebagainya.

Kedua, konsisten untuk turut andil dalam upaya mengubah kehidupan sekuler -liberalistik-kapitalistik yang menyebabkan beban persoalan keluarga kian berat. Sejalan dengan penguatan internal individu-individu dalam keluarga, kondisi sosial yang melingkupi mereka tidak boleh kontra produktif. Oleh karena itu, kehidupan masyarakat harus diubah menjadi kehidupan yang melahirkan kesejahteraan, ketenangan dan ketentraman. Itulah kehidupan Islam yang menjalankan syariat Islam secara kaffah. Upaya ini harus menjadi perhatian semua pihak jika tidak ingin laju tindak KDRT semakin kencang.

Tak seharusnya pernikahan dini menjadi kambing hitam tindak kedhaliman sistem dan manusia. Hukum Allah yang membolehkan pernikahan dini tentu membawa kabaikan bagi manusia. Bila terdapat persoalan di balik semua itu, tentu perilaku manusialah yang layak menjadi sorotan, adakah kesalahan yang telah dilakukan selama ini.

Dengan demikian, setiap muslim dijamin haknya untuk menikah kapan pun dia mampu. Syariat telah memberi rambu-rambu yang jelas dalam setiap pelaksanaan hukum-hukumnya. Menikah dini memang membutuhkan persiapan lebih banyak, terlebih dalam sistem kehidupan sekuler kapitalistik saat ini. Bila salah melangkah, jebakan KDRT akan siap menghadang. Namun demikian, bukan mustahil akan terwujud kehidupan pernikahan dini yang sakinah mawaddah wa rahmah tanpa ancaman KDRT. Semua tergantung sang pelaku.

Pemicu KDRT


Kekerasan dalam rumah tangga dapat dipicu oleh banyak faktor. Diantaranya ada faktor ekonomi, pendidikan yang rendah, cemburu dan bisa juga disebabkan adanya salah satu orang tua dari kedua belah pihak, yang ikut ambil andil dalam sebuah rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga yang disebabkan faktor ekonomi, bisa digambarkan misalnya minimnya penghasilan suami dalam mencukupi kebutuhan rumah tangga.

Terkadang ada seorang istri yang terlalu banyak menuntut dalam hal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, baik dari kebutuhan sandang pangan maupun kebutuhan pendidikan. Dari situlah timbul pertengkaran antara suami dan istri yang akhirnya menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Kedua belah pihak tidak lagi bisa mengontrol emosi masing-masing. Seharusnya seorang istri harus bisa memahami keuangan keluarga. Naik turunnya penghasilan suami sangat mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran yang dikeluarkan untuk keluarga. Disamping pendapatan yang kecil sementara pengeluaran yang besar seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim. Cara itu bisa menghindari pertengkaran dan timbulnya KDRT di dalam sebuah keluarga.
Dari faktor pendidikan, bisa disebabkan oleh tidak adanya pengetahuan dari kedua belah pihak bagaimana cara mengimbangi dan mengatasi sifat-sifat yang tidak cocok diantara keduanya. Mungkin di dalam sebuah rumah tangga ada suami yang memiliki sifat arogan dan cenderung menang sendiri, karena tidak adanya pengetahuan. Maka sang istri tidak tahu bagaimana cara mengatasi sifat suami yang arogan itu sendiri. Sehingga, sulit untuk menyatukan hal yang berbeda. Akhirnya tentulah kekerasan dalam rumah tangga. Kalau di dalam rumah tangga terjadi KDRT, maka perempuan akan menjadi korban yang utama. Seharusnya seorang suami dan istri harus banyak bertanya dan belajar, seperti membaca buku yang memang isi bukunya itu bercerita tentang bagaimana cara menerapkan sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.
Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi kebutuhan psikis, di mana kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang bertentangan. Seorang suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-masing.
Sepertti halnya dalam berpacaran. Untuk mempertahankan sebuah hubungan, butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya. Begitu juga halnya dalam rumah tangga harus dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang sifat seperti itu, terkadang suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di luar rumah. Karena mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika sudah begitu kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan orang lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki sifat cemburu yang terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kajadian seperti itu. Sifat rasa cemburu bisa menimbukan kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga juga bisa disebabkan tidak adanya rasa cinta pada diri seorang suami kepada istrinya, karena mungkin perkawinan mereka terjadi dengan adanya perjodohan diantara mereka tanpa didasari dengan rasa cinta terlebih dahulu. Itu bisa membuat seorang suami menyeleweng dari garis-garis menjadi seorang suami yang baik dan lebih bertanggung-jawab. Suami sering bersikap kasar dan ringan tangan. Untuk menghadapi situasi yang seperti ini, istri butuh kesabaran yang sangat amat besar. Berusaha berbuat semanis mungkin agar suami bisa berubah dan bersikap manis kepada istri.
Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-sama menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang bisa memicu konflik di dalam rumah tangga, bisa suami maupun istri. Sebelum kita melihat kesalahan orang lain, marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan kita masing-masing.

Hukuman KDRT


Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga –“UU KDRT”).

UU KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya (lihatPasal 5 UU KDRT). Kekerasan fisik yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (lihat Pasal 6 UU KDRT) sehingga termasuk pula perbuatan menampar, menendang dan menyulut dengan rokok adalah dilarang.

Pasal 26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).

Meski demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 UU KDRT yang berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a.     mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b.     memberikan perlindungan kepada korban;
c.      memberikan pertolongan darurat; dan
d.     membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat Anda lakukan sebagai kakak adalah sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas. UU KDRT menyebutkan bahwa permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Ditegaskan pula dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya. Namun, dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya. Simak pula Bagaimana Jika Korban KDRT Tidak Mau Melapor ke Polisi?

Selain itu, korban KDRT dilindungi haknya oleh UU KDRT yaitu untuk mendapatkan (Pasal 10 UU KDRT):
a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c.   penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pelayanan bimbingan rohani.

Ancaman pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah pidana penjara pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta (lihat Pasal 44 ayat [1] UU KDRT). Dan khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5 juta (lihat Pasal 44 ayat [4] UU KDRT).

Kami tidak mengetahui apakah KDRT yang dialami adik Anda melibatkan pula kekerasan psikis atau tidak, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis yang berat. Namun, apabila adik ipar Anda juga melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya, ada ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya yaitu pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9 juta dan dalam hal perbuatan tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjarapaling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3 juta (lihat Pasal 45 UU KDRT).

Untuk kekerasan fisik maupun psikis yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari adalah merupakan delik aduan (lihat Pasal 51 dan 52 UU KDRT) yaitu proses pidana hanya bisa dilakukan apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana (atau kuasanya). MenurutMr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II, dalam delik aduan,penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Pencabutan pengaduan ini dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Komnas Perempuan


Komitmen Komnas Perempuan
Sebagai Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang independen, sesuai mandatnya Komnas Perempuan memfokuskan diri pada upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan serta upaya menciptakan suasana kondusif bagi pemenuhan hak asasi perempuan, termasuk hak-hak perempuan   korban kekerasan, yaitu hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Untuk mewujutkan mandatnya kmnas perempuan bekerja dengan membentuk 4 sub komisi, yaitu sub komisi Reformasi Hukum,Sub Kom Pemulihan,Sukom Pemantauan dan Sub Kom Litbang dan Pendidikan.
Komnas Perempuan dalam menjalankan mandatnya bermitra kerja dengan institusi pemerintah, LSM,Organisasi sosial dan budaya, organisasi agama dan PT di pusat maupun daerah, regional maupun internasional.
Sub Kom  Reformasi Hukum dan Kebijakan pada periode 2007-2009 salah satu program kerjanya menjalin hubungan dengan  aparat penegak hukum dan organisasi kemasyakatan sipil (Penguatan Penagak Hukum/PPH). Hasil dari kerjasama ini telah terwujud dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) antara aparat penegak hukum dan para advokat/pengacara.
Pada bulan November 2007, telah terselenggara  Pelatihan  bagi Hakim Peradilan Agama dengan materi KDRT. Pelatihan ini  dimasudkan untuk mengembangkan bangunan pengetahuan tentang KDRT, tidak hanya yang diatur dalam hukum nasional  (UU PKDRT), tetapi juga hukum Islam. Menangkap antusiasme permintaan dari para hakim PA dalam pelatihan tersebut diatas, agar ada buku Referensi bagi mereka tentang KDRT, maka Komnas Perempuan menyelenggarakan workshop untuk penyusunan materi buku. Buku Referensi ini telah dilaunching pada bulan Juli 2008 bersama Ketua Muda Urusan Lingkungan Agama MA-RI dan Dirjen Badan Peradilan Agama MA-RI. Keberadaan buku referensi ini nantinya diharapkan mampu memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang KDRT bagi hakim PA, sebagai tempat terakhir bagi kebanyakan perempuan korban menggapai keadilan dan mengungkap kebenaran. Kerja-kerja ini akan terus dilanjutkan dan dikembangkan dengan menggandeng kehakiman seperti pelatihan untuk para hakim pengadilan negeri tentang KDRT, SPPT bagi pendamping korban, pendataan kasus KDRT di kejaksaan, dan advokasi  revisi KUHAP.
Hal lain yang menjadi harapan besar bagi Komnas Perempuan  sebagai upaya perlindungan terhadap korban yang belum maksimal diberikan oleh negara, adalah keberadaan LPSK. Dengan terpilihnya anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban usaha perindungan sebagaimana yang tertera dalam UU PKDRT yakni segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan dapat segera terwujud. Sehingga terjadi kerja-kerja sinergi dalam memenuhi hak-hak korban. Semoga.

Undang - Undang


Menuju Upaya Pemenuhan Hak-hak Korban
Harus diakui kehadiran UU PKDRT membuka jalan bagi terungkapnya kasus KDRT dan upaya perlindungan hak-hak korban. Dimana, awalnya KDRT dianggap sebagai wilayah privat yang tidak seorang pun diluar lingkungan rumah tangga dapat memasukinya. Lebih kurang empat tahun sejak pengesahannya pada tahun 2004, dalam perjalannnya UU ini masih ada beberapa  pasal yang tidak menguntungkan bagi perempuan korban kekerasanm.   PP No 4 tahun 2006 tentang Pemulihan merupakan peraturan pelaksana dari UU ini, yang diharapkan mempermudah  proses implementasi UU sebagaimana yang tertera dalam mandat UU ini.
Selain itu, walapun UU ini dimaksudkan memberikan efek jera bagi pelaku KDRT, ancaman hukuman yang tidak mencantumkan hukuman minimal dan hanya hukuman maksimal sehingga berupa ancaman hukuman alternatif kurungan atau denda dirasa terlalu ringan bila dibandingkan dengan dampak yang diterima korban, bahkan lebih menguntungkan bila menggunakan ketentuan hukum sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Apalagi jika korban mengalami cacat fisik, psikis, atau bahkan korban meninggal. Sebagai UU yang memfokuskan pada proses penanganan hukum pidana dan penghukuman dari korban, untuk itu, perlu upaya strategis diluar diri korban guna mendukung dan memberikan perlindungan bagi korban dalam rangka mengungkapkan kasus KDRT yang menimpanya.

Contoh


Perempuan korban menggapai keadilan
PA merupakan tempat rujukan terbanyak perempuan korban KDRT menggantungkan keadilan, meskipun fakta KDRT terbanyak tersembunyi dalam gugat cerai, para perempuan korban, sehingga pengungkapan kekerasannya sendiri tidak terungkap. Dengan demikian proses hukum KDRT itu sendiri tidak pernah berjalan. Kasus KDRT terbanyak terdapat di PA yakni 41% dari 20.380 kasus. Ini menunjukkan bahwa kasus gugat cerai di PA sebagian besar berkaitan dengan kasus KDRT. Di PA ada 6.212 kasus penelantaran ekonomi dan 1.582 kasus kekerasan psikis. Dari jumlah kasus KDRT ini ada 17.772 kasus terindentifikasi sebagai kekerasan terhadap isteri.
Sayangnya, sekalipun pengadilan agama menjadi lembaga yang paling banyak menangani kasus KDRT (penelantaran ekonomi dalam perkara gugat cerai) tetapi mereka tidak menggunakan UU PKDRT sebagai acuan. Pemisahan antara perkara perdata (cerai) dan pidana (KDRT) dalam sistem peradilan Indonesia ternyata tidak menguntungkan kepentingan perempuan korban untuk mendapatkan keadilan.
Dalam rangka memberikan layanan bagi perempuan korban KDRT diantara beberapa lembaya yang terlibat yakni pertama, Women Crisis Center (WCC), atau organisasi perempuan penyedia layanan. Setidaknya ada delapan macam pelayanan yang biasa diberikan WCC adalah hotline, layanan konseling, support group, pendampingan hukum, penyediaan rumah aman atau shelter, terapi psikologi, pelayanan medis, dan penguatan ekonomi. Kedua, Rumah Sakit. Peran aktif RS dalam memberikan layanan bagi perempuan korban kekerasan dikembangkan oleh Komnas Perempuan dan RSCM Jakarta. Yang kemudian diadopsi diberbagai lembaga kesehatan lainnya. Ketiga, Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UUPA) adalah tindak lanjut dari Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang dibentuk sejak tahun 1999 di Kepolisian, saat UUPA menjadi unit tersendiri dalam struktur kepolisian berdasarkan Peraturan Kapolri No 10/2007. Dan terakhir keempat, Kejaksaan yang telah mengalokasikan dana secara rutin untuk menangani kasus KtP. Lembaga ini juga mengintegrasikan jender sebagai salah satu bidang pendidikan yang diajarkan kepada aparatnya.  

Fakta Kekerasan dalam Rumah Tangga


Fakta Kekerasan dalam Rumah Tangga
KDRT adalah persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Ada banyak alasan. Boleh  jadi, pelaku KDRT benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang telah ia lakukan adalah merupakan tindak KDRT. Atau, bisa jadi pula, pelaku menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan tindakan KDRT. Hanya saja, ia mengabaikannya lantaran berlindung diri di bawah norma-norma tertentu yang telah mapan dalam masyarakat. Sehingga menganggap perbuatan KDRT sebagai hal yang wajar dan pribadi .

Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, sebagaimana dikemukakan  dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. UU PKDRT ini lahir melalui perjuangan panjang selama lebih kurang tujuh tahun yang dilakukan para aktivis gerakan perempuan dari berbagi elemen.
Di Indonesia, secara legal formal, ketentuan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2004. Misi dari Undang-undang ini adalah sebagai upaya, ikhtiar bagi penghapusan KDRT. Dengan adanya ketentuan ini, berarti negara bisa berupaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban akibat KDRT. Sesuatu hal yang sebelumnya tidak bisa terjadi, karena dianggap sebagai persoalan internal keluarga seseorang. Pasalnya, secara tegas dikatakan bahwa, tindakan keekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran rumah tangga (penelantaran ekonomi) yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana. Tindakan-tindakan tersebut mungkin biasa dan bisa terjadi antara pihak suami kepada isteri dan sebaliknya, atapun orang tua terhadap anaknya. Sebagai undang-undang yang membutuhkan pengaturan khusus, selain berisikan pengaturan sanksi pidana, undang-undang ini juga mengatur tentang hukum acara, kewajiban negara dalam memberikan perlindungan segera kepada korban yang melapor. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa ketentuan ini adalah sebuah terobosan hukum yang sangat penting bagi upaya penegakan HAM, khusunya perlindungan terhadap mereka yang selama ini dirugikan dalam sebuah tatanan keluarga atau rumah tangga.
Terobosan hukum lain yang juga penting dan dimuat di dalam UU PKDRT adalah identifikasi aktor-aktor yang memiliki potensi terlibat dalam kekerasan. Pada Pasal 2 UU PKDRT disebutkan bahwa lingkup rumah tangga meliputi (a) suami, isteri, dan anak, (b) orang-orang yang memiliki hubungan keluarga sebagaimana dimaksud pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan atau (c) orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut sehingga dipandang sebagai anggota keluarga. Identifikasi kekerasan terhadap pekerja rumah tangga sebagai kekerasan domestik sempat mengundang kontraversi karena ada yang berpendapat bahwa kasus tersebut hendaknya dilihat dalam kerangka relasi pekerjaan (antara pekerja dengan majikan). Meskipun demikian, UU PKDRT mengisi jurang perlindungan hukum karena sampai saat ini undang-undang perburuhan di Indonesia tidak mencakup pekerja rumah tangga. Sehingga korban kekerasan dalam rumah tangga adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
UU PKDRT merupakan terbosan hukum yang positif dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana persoalan pribadi telah masuk menjadi wilayah publik. Pada masa sebelum UU PKDRT ada, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri atau orang tua terhadap anak diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti.
Catatan tahunan komnas perempuan sejak tahun 2001 sampai dengan 2007 menunjukkan peningkatan pelaporan kasus KDRT sebanyak lima kali lipat. Sebelum UU PKDRT lahir yaitu dalam rentang 2001 – 2004 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 9.662 kasus. Sejak diberlakukannya UU PKDRT 2005 – 2007, terhimpun sebanyak 53.704 kasus KDRT yang dilaporkan.
Data kekerasan 3.169 tahun 2001, 5.163 tahun 2002, 7.787 tahun 2003, 14.020 tahun 2004, 20.391 tahun 2005, 22.512 tahun 2006, dan 25.522 tahun 2007. Jumlah Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) mulai meningkat dengan cukup tajam sejak tahun 2004 (lebih dari 44% dari tahun 2003) dan tahun-tahun berikut kenaikan angka KtP berkisar antara 9% - 30% (tahun 2005, 30% tahun 2006), 9% dan tahun 2007 11%.
KTP ini mayoritas ditempati menurut ranah kekerasan. Maka KDRT cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan lonjakan tajam antara tahun 2004 (4.310 kasus) ke tahun 2005 (16.615 kasus). Dari data 25.522 kasus KtP pada tahun 2007, KDRT terdapat 20.380 kasus, KtP di komunitas 4.977 kasus, dan KtP dengan pelaku negara 165 kasus. Dari 215 lembaga dan tersebar dari 111 pulau yang memberikan datanya kepada Komnas Perempuan, data terbanyak berasal dari Pulau Jawa (2 di Banten, 7 di Yogyakarta, 22 di Jawa Barat, 29 di Jawa Tengah, dan 31 di Jawa Timur).
Kecenderungan meningkatnya kasus KDRT yang dilaporkan ini menunjukkan adanya bangunan kesadaran masyarakat tentang kekerasan khusunya kekerasan yang terjadi di ranah rumah tangga pada umumnya  dan kesadaran serta keberanian perempuan korban  untuk melaporkan kasus KDRT yang dialaminya,pada khususnya.
Banyaknya  kasus yang dalam perjalannnya dicabut oleh pelapor yang sekaligus juga korban, lebih karena banyaknya beban gender perempuam korban yang seringkali harus ditanggung sendiri,, kuatnya budaya patriarkhi, doktrin agama, dan adat menempatkan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dalam situasi yang sulit untuk keluar dari lingkar kekerasan yang dialaminya, dab cenderung ragu untuk mengungkap fakta kekerasannya, bahkan korban sulit mendapat dukungan dari keluarga maupun komunitas. Keyakinan ’berdosa’ jika menceritakan ’kejelekan, keburukan, atau aib’ suami membuat banyak perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga menyimpan dalam-dalam berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya.

Hak Korban KDRT



[sunting]Upaya Pemenuhan Hak-hak Korban KDRT

Upaya-upaya dalam pemenuhan hak-hak korban KDRT harus diakui kehadiran UU PKDRT membuka jalan bagi terungkapnya kasus KDRT dan upaya perlindungan hak-hak korban. Dimana, awalnya KDRT dianggap sebagai wilayah privat yang tidak seorang pun diluar lingkungan rumah tangga dapat memasukinya. Lebih kurang empat tahun sejak pengesahannya pada tahun 2004, dalam perjalanannya UU ini masih ada beberapa pasal yang tidak menguntungkan bagi perempuan korban kekerasan. PP No. 4 tahun 2006 tentang Pemulihan merupakan peraturan pelaksana dari UU ini, yang diharapkan mempermudah proses implementasi UU sebagaimana yang tertera dalam mandat UU ini.
Selain itu, walaupun UU ini dimaksudkan memberikan efek jera bagi pelaku KDRT, ancaman hukuman yang tidak mencantumkan hukuman minimal dan hanya hukuman maksimal sehingga berupa ancaman hukuman alternatif kurungan atau denda terasa terlalu ringan bila dibandingkan dengan dampak yang diterima korban, bahkan lebih menguntungkan bila menggunakan ketentuan hukum sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Apalagi jika korban mengalami cacat fisik, psikis, atau bahkan korban meninggal. Sebagai UU yang memfokuskan pada proses penanganan hukum pidana dan penghukuman dari korban, untuk itu, perlu upaya strategis diluar diri korban guna mendukung dan memberikan perlindungan bagi korban dalam rangka mengungkapkan kasus KDRT yang menimpanya

Penyebab KDRT


Penyebab KDRT

Penyebab KDRT adalah:
  • Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara
  • Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-laki harus kuat, berani serta tanpa ampun
  • KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri
  • Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan

Bentuk bentuk KDRT


Kekerasan Fisik

  • Kekerasan Fisik Berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang; memukul, menyundut; melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan:
  1. Cedera berat
  2. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
  3. Pingsan
  4. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
  5. Kehilangan salah satu panca indera.
  6. Mendapat cacat.
  7. Menderita sakit lumpuh.
  8. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
  9. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
  10. Kematian korban.
  • Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan:
  1. Cedera ringan
  2. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat
  3. Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat.

[sunting]Kekerasan Psikis

  • Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasieksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
  1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
  2. Gangguan stres pasca trauma.
  3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
  4. Depresi berat atau destruksi diri
  5. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
  6. Bunuh diri
  • Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini:
  1. Ketakutan dan perasaan terteror
  2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak
  3. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
  4. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis)
  5. Fobia atau depresi temporer

[sunting]Kekerasan Seksual

  • Kekerasan seksual berat, berupa:
  1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
  2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.
  3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
  4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
  5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
  6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
  • Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
  • Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam rumah tangga (disingkat KDRT) adalah kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suamimaupun oleh istri. Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisikseksualpsikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.